Drama Korea seakan menggambarkan betapa indahnya dunia cinta mereka, tapi nyatanya tidak demikian.
Anda yang suka iri dengan drama Korea, seharusnya justru bersyukur!
Meski sinetron Indonesia banyak mengumbar intrik mertua-anak dan
kegagalan pernikahan, justru di negeri ini tidak sulit untuk menikah di
usia
20an dan jarang sekali orang yang memilih hidup membujang. Di
Indonesia, selalu saja ada teman dan anggota keluarga yang buru-buru
'menolong' wanita untuk mendapatkan jodohnya.
Namun di Korea, banyak wanita berumur 30 sekian yang mengeluh betapa
susahnya untuk menikah. Hampir mustahil bagi mereka menemukan pasangan
yang potensial, bahkan lebih sulit lagi meminta rekan atau anggota
keluarga mengenalkan calon suami. Mungkin karena itu pula, drama Korea
cenderung bercerita muluk dan serba imajiner. Bertemu melalui
serangkaian kebetulan hingga dikejar-kejar lelaki ganteng kaya raya?
Kisah indah seperti itu tentu hanya terjadi pada satu di antara 10
wanita di dunia ini. Lantas, apakah ekspektasi yang terlalu tinggi
akibat terbawa kisah drama itulah yang menyebabkan wanita di Korea susah
mendapatkan pasangan?
Hal ini juga yang menyebabkan di negara mereka sendiri banyak drama
Korea mendapatkan rating yang tinggi justru lantaran mengambil tema
kehidupan wanita di umur 30-an. Sebut sajaMY LOVELY SAM SOON dan WIFE TEMPTATION yang
juga menuai respon bagus saat ditayangkan di salah satu channel TV
swasta Indonesia. Drama berseri tersebut bercerita tentang bagaimana
wanita single di umur 30 ke atas berusaha menyesuaikan dengan standar
hidup masyarakat Korea namun juga harus berjuang mendapatkan cinta.
Kasus terlambat menikah sepertinya disebabkan oleh kebingungan para
wanita Korea. Mereka nampaknya masuk dalam 3 kategori berikut ini.
Kategori pertama adalah tipe survival alias mereka yang cenderung memilih bertahan di rumah, mengurusi rumah tangga dan anak-anak.
Kategori kedua adalah dependant alias tipe wanita yang sebenarnya
sudah mampu mengurusi diri sendiri namun memerlukan lelaki dengan
penghasilan yang lebih tinggi sehingga mereka bisa memilih akan bekerja
atau tidak setelah menikah.
Tipe ketiga adalah preserving, yaitu wanita dengan penghasilan sangat tinggi dan hanya mempertimbangkan pernikahan yang tidak mengganggu perjalanan karirnya.
Kebanyakan wanita Korea masuk di kategori kedua, tipe dependant,
karena mereka tidak berencana menghabiskan hidup mereka sendirian. Oleh
karena itu mereka mulai cemas mencari pasangan hidup yang dapat
mengurusi mereka.
Meski demikian, menerima lelaki dengan latar belakang finansial yang
bagus juga tak selamanya menguntungkan. Jika mereka bertemu pria kaya,
para wanita ini khawatir status mereka akan turun ke kategori pertama.
Menjadi tipe survival sangat ditakutkan wanita Korea saat ini,
karena mereka tidak ingin tinggal diam mengurusi rumah saja. Masalah
lainnya adalah jika para wanita ini tetap harus bekerja, mereka takut
tetap harus mengurusi rumah dan anak-anak.
Tentu jarang sekali ada lelaki yang mampu memberikan wanita Korea ini
kedua-duanya; kebebasan bekerja dan rumah tangga. Dengan persyaratan
yang begitu sulit, tak heran para wanita ini sulit mendapatkan jodoh
yang diinginkan. Mungkin lebih baik bagi para wanita pencari cinta ini
untuk keluar dari mindset seorang dependant dan beralih menjadi coexist.
Alih-alih berpikir tentang keuntungan materi, mencari suami yang mampu
menjadi pasangan hidup menjadi pilihan yang lebih realistis. Memilih
pasangan hidup berarti memilih orang yang bisa berbagi beban dan
melakukan apa pun bersama-sama. Urusan karir atau materi selalu bisa
direncanakan seiring berjalannya pernikahan.
Nah, bagaimana dengan wanita Indonesia yang juga banyak terpengaruh
imbas Korean Wave? Tentunya wanita Indonesia dan generasi muda
Korean-addict harus disadarkan bahwa apa yang terjadi di drama memang
hanya sebuah drama. Jangan sampai apa yang Anda tonton membuat Anda
menjadi pemilih dan berekspektasi terlalu tinggi.
Coutersy of blowil-unique :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)